"Bara! kamu harus bisa masuk UI ya. Ayah akan bangga kalo kamu lebih bisa ke jurusan Teknik. Kalo kamu ngga bisa masuk Poltek UI, Ayah nggak akan biayain kamu kuliah" Teriak Ayahnya dari ruang tengah. Ya, ini hari sabtu Ayah biasa 'nyantai' di ruang tengah sambil minum segelas kopinya. Bara hanya bisa terdiam mendengar ucapan Ayahnya itu. "Mending buka Whatsapp aja" pikirnya.
"Kamu denger ngga sih apa yang Ayah bilangin tadi!?"
"Denger yah, tapi aku ngga minat ke teknik lagipula hasil tes IQ ku ngga ada kemampuan ke teknik"
"Mulai berani kamu ngelawan orang tua"
"Perusahaan sekarang lebih membutuhkan skil/kemampuannya daripada otak kok, Yah"
"Orang segede kamu ngerti apa sih? Ayah yang lebih berpengalaman daripada kamu"
"Tapi yah..."
Terdengar perdebatan antara Ayah dengan anak. Ibu hanya terdiam di dapur, ia berfikir ada benarnya juga sang Ayah berucap seperti itu, namun ada benarnya juga apa yang dikatakan Bara.
"Sudah, jalani apa yang di minati Bara, Yah. Dia sudah cukup dewasa, pasti dia mengerti mana yang baik mana juga yang buruk untuk kedepannya" Sang ibu mencoba mendinginkan suasana.
"Tapi setidaknya orang tua bisa ngasih tau mana yang baik dilakukan mana yang enggak"
Sementara Bara sibuk didepan handphone nya yang daritadi banyak pesan masuk. Ternyata Bara sedang cerita dengan sahabatnya, Jani. Cerita apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang, Jani sebagai sahabat hanya bisa menasehati dan berusaha menghibur Bara.
"Ya gue tau Jan, orang tua cuma mau anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya"
"Nah trus? kadang mereka cuma mikir kalo berhasil itu ya mapan. Tapi mereka ngga pernah mikir gimana nantinya lo bisa bahagia"
"Padahal bahagia itu adalah cara dari diri sendiri bukan dari orang lain yang nentuin"
"Mindset orang kan selalu begitu"
"Tapi kalo emang Ayah nggak mau biayain gue ke Univ yang gue mau, gua bisa cari cara kok. Tinggal bikin usaha sendiri"
"Iya kan, lo bisa kumpulin uang jajan buat tambahan modal. Lagipula lo anggep gue apasih?"
"Haha nggak enak lah"
"Ah pikiran orang baheula nih-_- woles kali"
Mereka masih cerita panjang lebar dan pada akhirnya berhenti ketika Bara mau main kerumah Byna, pacarnya. Bara hanya mengandalkan wifi dirumahnya, maka dari itu kalau ia pergi tak bisa berkutik apapun untuk membuka internet. Sudah menjadi rutinitas Bara untuk bisa bermain bersama pacarnya di hari Sabtu, karena menurutnya sudah setiap hari ia bermain dengan Jani di sekolah. Memang Bara dan Byna tidak satu kelas, bahkan tidak satu sekolah. Awal mereka kenal karena sebuah sparing futsal yang diselenggarakan antar sekolah, lama-lama mereka saling kenal dan....
Ketika Bara mengambil kunci motor di atas meja, rupanya Ayahnya masih saja membahas hal yang sama.
"Yah, aku mau keluar dulu"
"Mau kemana kamu?"
"Mau kerumah Byna, Yah"
"Kamu lebih bela-belain untuk main kerumah Byna daripada belajar dirumah"
"Please Yah ini Sabtu, sebentar aja aku main kesana"
"Dibilangin kok keras kepala?" Nadanya mulai meninggi.
"Ayah senang kamu keras kepala dibidang pendidikan, tapi Ayah nggak suka kamu keras kepal untuk masalah ini"
Ayah berdiri dari bangkunya, Ibu mengisyaratkan pada Ayah agar berhenti menekan Bara. Ibunya paham betul bahwa begitulah memiliki anak laki-laki. Apalagi jika Ayah dan anak laki-lakinya sedang berdebat.
"Yasudah kamu pergi sana, keburu kesiangan" Ucap Ibunya kemudian.
"Bu, jangan manjakan anak ini. Dia udah gede"
"Dia laki-laki dan kalo Ayah paham dia udah gede bukan kayak gini caranya. Ibu tau maksud Ayah, tapi cara Ayah salah"
Terlihat wajah Ayah yang memerah dan meniggalkan ruang tengah menuju dapur untuk mengambil cemilan siangnya. Bara memanaskan motornya dan memakai helm, tak lama Bara melajukan kendaraannya menuju rumah Byna. Dalam perjalanan, Bara bergumam.
"Kenapa orang tua selalu menuntut? kalo aku ngga bisa nurut kata Ayah aku durhaka. Aku anak pertama, aku harus bisa buktiin ke adik-adikku kalo aku yang duluan bisa bahagiain Ayah dan Ibu"