Rabu, 22 Oktober 2014

Katanya Masa Depan Ditangan Sendiri

"Bara! kamu harus bisa masuk UI ya. Ayah akan bangga kalo kamu lebih bisa ke jurusan Teknik. Kalo kamu ngga bisa masuk Poltek UI, Ayah nggak akan biayain kamu kuliah" Teriak Ayahnya dari ruang tengah. Ya, ini hari sabtu Ayah biasa 'nyantai' di ruang tengah sambil minum segelas kopinya. Bara hanya bisa terdiam mendengar ucapan Ayahnya itu. "Mending buka Whatsapp aja" pikirnya.
"Kamu denger ngga sih apa yang Ayah bilangin tadi!?"
"Denger yah, tapi aku ngga minat ke teknik lagipula hasil tes IQ ku ngga ada kemampuan ke teknik"
"Mulai berani kamu ngelawan orang tua"
"Perusahaan sekarang lebih membutuhkan skil/kemampuannya daripada otak kok, Yah"
"Orang segede kamu ngerti apa sih? Ayah yang lebih berpengalaman daripada kamu"
"Tapi yah..."
Terdengar perdebatan antara Ayah dengan anak. Ibu hanya terdiam di dapur, ia berfikir ada benarnya juga sang Ayah berucap seperti itu, namun ada benarnya juga apa yang dikatakan Bara.
"Sudah, jalani apa yang di minati Bara, Yah. Dia sudah cukup dewasa, pasti dia mengerti mana yang baik mana juga yang buruk untuk kedepannya" Sang ibu mencoba mendinginkan suasana.
"Tapi setidaknya orang tua bisa ngasih tau mana yang baik dilakukan mana yang enggak"
Sementara Bara sibuk didepan handphone nya yang daritadi banyak pesan masuk. Ternyata Bara sedang cerita dengan sahabatnya, Jani. Cerita apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang, Jani sebagai sahabat hanya bisa menasehati dan berusaha menghibur Bara.
"Ya gue tau Jan, orang tua cuma mau anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya"
"Nah trus? kadang mereka cuma mikir kalo berhasil itu ya mapan. Tapi mereka ngga pernah mikir gimana nantinya lo bisa bahagia"
"Padahal bahagia itu adalah cara dari diri sendiri bukan dari orang lain yang nentuin"
"Mindset orang kan selalu begitu"
"Tapi kalo emang Ayah nggak mau biayain gue ke Univ yang gue mau, gua bisa cari cara kok. Tinggal bikin usaha sendiri"
"Iya kan, lo  bisa kumpulin uang jajan buat tambahan modal. Lagipula lo anggep gue apasih?"
"Haha nggak enak lah"
"Ah pikiran orang baheula nih-_- woles kali"

Mereka masih cerita panjang lebar dan pada akhirnya berhenti ketika Bara mau main kerumah Byna, pacarnya. Bara hanya mengandalkan wifi dirumahnya, maka dari itu kalau ia pergi tak bisa berkutik apapun untuk membuka internet. Sudah menjadi rutinitas Bara untuk bisa bermain bersama pacarnya di hari Sabtu, karena menurutnya sudah setiap hari ia bermain dengan Jani di sekolah. Memang Bara dan Byna tidak satu kelas, bahkan tidak satu sekolah. Awal mereka kenal karena sebuah sparing futsal yang diselenggarakan antar sekolah, lama-lama mereka saling kenal dan....
Ketika Bara mengambil kunci motor di atas meja, rupanya Ayahnya masih saja membahas hal yang sama.
"Yah, aku mau keluar dulu"
"Mau kemana kamu?"
"Mau kerumah Byna, Yah"
"Kamu lebih bela-belain untuk main kerumah Byna daripada belajar dirumah"
"Please Yah ini Sabtu, sebentar aja aku main kesana"
"Dibilangin kok keras kepala?" Nadanya mulai meninggi.
"Ayah senang kamu keras kepala dibidang pendidikan, tapi Ayah nggak suka kamu keras kepal untuk masalah ini"
Ayah berdiri dari bangkunya, Ibu mengisyaratkan pada Ayah agar berhenti menekan Bara. Ibunya paham betul bahwa begitulah memiliki anak laki-laki. Apalagi jika Ayah dan anak laki-lakinya sedang berdebat.
"Yasudah kamu pergi sana, keburu kesiangan" Ucap Ibunya kemudian.
"Bu, jangan manjakan anak ini. Dia udah gede"
"Dia laki-laki dan kalo Ayah paham dia udah gede bukan kayak gini caranya. Ibu tau maksud Ayah, tapi cara Ayah salah"
Terlihat wajah Ayah yang memerah dan meniggalkan ruang tengah menuju dapur untuk mengambil cemilan siangnya. Bara memanaskan motornya dan memakai helm, tak lama Bara melajukan kendaraannya menuju rumah Byna. Dalam perjalanan, Bara bergumam.
"Kenapa orang tua selalu menuntut? kalo aku ngga bisa nurut kata Ayah aku durhaka. Aku anak pertama, aku harus bisa buktiin ke adik-adikku kalo aku yang duluan bisa bahagiain Ayah dan Ibu"

Selasa, 21 Oktober 2014

Cuma temen

Bel berbunyi, alunan iramanya model jaman sekarang ketika bel berbunyi bukan “kring….!” lagi. Dan seperti biasa anak-anak berhamburan keluar kelasnya. Beberapa anak ada yang pergi ke kantin, perpustakaan, Mushola, atau bahkan ada yang masih tetap nongkrong di kelas. “Ah nyamperin Ira kekelasnya” pikirku. Jarak dari kelasku ke kelas Ira deket banget ya jelas aja kelasku XI IIS 4 sementara Ira kelas XI IIS 3. Sebelum jalan ke kelasnya, aku berusaha nanya ke temen sekelasnya yang ada di depan pintu.
“Ira masuk ngga hari ini?” teriakku dari depan kelas.
“bentar gue liat” katanya, sambil masukin kepala ke dalem kelas.
“eh ngga masuk tuh Sa, telat sih katanya” katanya lagi
“oh yaudah”
Tanpa basa-basi, aku langsung bbm Ira. “Ra, lo kok bisa telat sih?” kukirim dan… Baru D (Deliv). Oke sambil cerita sedikit, sekarang peraturannya udah semakin ketat. Telat 10 menit aja disuruh pulang makanya banyak anak yang sengaja telat supaya bisa pulang awal. Hp bergetar, kayaknya Ira nih. “sengaja sih Sa, abis enak di rumah sama ibu lagipula ibu ngga marah. Ibu malah ngajak makan keluar” jawabnya singkat.  “terlalu enak kayak gini, pengenkali kayak gitu juga” gumamku. Aku hanya read karena aku memplay lagu Calvin Harris-Summer dan langsung me-lock screen. Istirahat pertama cuma 15 menit dan tak terasa sudah harus masuk kelas lagi. Temen sebangku Rafa namanya, dia jadi moodboster saat lagi bored ngga ada temen gini. Dia selalu tau caranya bikin tertawa, entah itu dengan lawakannya, dengan ledekannya, atau dengan tingkahnya. Cowok tinggi, gemuk, kacamataan dan seorang otaku ini emang nggemesin. Seringkali aku bersandar di pundaknya karena empuk. Selagi asik bercanda sama Rafa, aku sampai tak menghiraukan apa yang guru Matematika ini jelaskan. Akhirnya kami berhenti bergurau, aku menyangga kepala dengan kepalan telapak tangan. Tiba-tiba…
“Kamu kenapa?”
“Hah? Saya nggak apa kok bu”
“Retsa! kamu galauin siapa? Atau kamu lagi banyak utang ya?” kata guru itu serta,  anak anak mentertawakanku.
“Nggak kok bu nggak”
“kamu galauin pacar ya? Pacar kamu ada disini?” katanya.
“Rafa bu!” teriak salah satu teman
“Yang mana?”
“Itu disebelahnya bu”
“Kamu ngapain dia? Kok dia sampe galau gitu?”
“biasa bu, dia ngga pernah ngertiin saya”
“ih….” Gerutuku
“udah deh ngga usah ngeles lagi”
“dasar anak muda ini, yasudah kalian selesaikan masalah kalian nanti aja sekarang fokus ke materi saya dulu” sambil melanjutkan materinya.
2 jam berlalu, 1 jam terdiri dari 45 menit jadi 2 jam 90 menit. Sementara Matematika harus 90 menit untuk anak IIS rasanya seperti seharian penuh angka, berlebihan memang. Setelah matematika, pelajaran selanjutnya adalah Ekonomi.
“Tumben gurunya rada lama datengnya. Gue tidur dulu ah, nanti kalo udah dateng bangunin gue”
“Ogah”
“Dih? Gitu temen?”
Baru Rafa mau meletakan kepalanya di meja, aku langsung membangunkannya karna memang gurunya sudah di depan pintu.
“yah baru mau naro pala”
“emang enakkkk” wajah ngeledek. Tanpa basa-basi dia langsung memegang kepalaku dengan kedua telapak tangannya yang besar.
Rupanya guru Ekonomi masuk sebentar hanya memberi tugas karena beliau mau pergi ke Dinas. Setelah beliau keluar kelas Rafa nampak mulai kesal.
“lah? Tau gitu tadi lanjut tidur dah”
“ahahahaha, kasian amatttt”
“songong lu, gue mau lanjut. Lo kerjain nanti gue liat oke” sambil belai kepala
“iye tidur gihdah” aku tersenyum kecut.

Rafa benar-benar melanjutkan tidurnya, melilitkan kepalanya dengan handuk kecilnya. Sementara aku sedikit bergumam dalam lamunanku. "Dia emang cuma temen gue. Tapi mungkin ngga ya gue suka sama dia seperti apa yang temen-temen bilang? Nggak sekarang sih, mungkin nanti" aku bergumam dalam hati sambil tak sengaja memandangi Rafa yang sedang tertidur.
"Ah, nggak lah nggak mungkin, kita cuma temen" aku menghapus semua andai-andaiku tadi dan segera mengerjakan tugas Ekonomi di depan mata.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Udah lama ngga ngepost nih-_-kangen nggak? yah ngga kangen nih kayaknya._. udah kangen-kangenin ajaya biar guenya seneng ohoho. Mau cerita, tapi bingung cerita apa.
Setelah putus tanggal 2 Juni 2014 lalu gue selalu berusaha buat suka sama orang. Entah berusaha buat pura-pura suka, berusaha bilang "udah move on", berusaha caper gitu, berusaha strong. Tapi ya "Feel never lying". Pada akhirnya bener bener terjadi cinlok. Cinlok di puncak garagara pada main ke Ciloto bulan September lalu. Dia satu mobil, dia satu kelompok games, dia kakak Karang Taruna yang tinggi, berkaca mata, dewasa, anak teknik, alumni smanti, alumni UI juga dan sekarang dia kerja di Technical Engineer di Water Treatment Tanggerang. Ngga tau dan ngga jelas sih ya awal awal knapa bisa naksir dia. Padahal dari pagi awal keberangkatan itu sampe besok paginya masih biasa aja. Tiba-tiba siang itu bawaannya aneh aja-_-. Minggu sore sekitar jam 3 udah mulai jalan dari Ciloto ke Depok, karena macet akhirnya kita lewat Jonggol (Cilengsi, Mekarsari, Cibubur) emang sih pulangnya jadi semakin lama. Udah semakin lama, jalannya juga ngga mendukung. Tapi ada yang bilang "gapapa lama, asal bisa semobil". So, kalo dipikir iya juga sih. Akhirnya jam setengah 9an baru sampe dirumah. Begitu udah dirumah, aku berusaha minta ke kak Rara buat minta dokumentasi yang kmaren dan dia ngirim lewat e-mail. Ternyata tanpa disadari ada 3 foto pas gue sama Kakak itu lomba estafet karet pake sedotan "andaikata itu sedotannya dihapus" tapi ngga bisa sih ngeditnya. Seninnya ada ide buat nyapa tanya tanya langsung ke orangnya. Singkatnya, seminggu sudah curhat, chat, cerita panjang lebar lewat Whatsapp tibatiba ngilang ngga tau kmana-_- ah yaudah sibuk mungkin, pikir gue sihgitu. Lama kelamaan tanpa kontak jadi males gimana gitu, tapi ya tetep banggain orang itu depan orang lain.
Pas PMR di sekolah lama, gue sama difta curhat curhat cowok gitu. Demi apapun gue asal ceplos ngomong nama merk orang itu tadi dan ngga sadar apa-apa. Gue ke sekolah lama garagara gue jadi alumni senior PMR juga yang diundang sama pembinanya. Gue diundang karna mau ada pelantikan. Hari berlalu, pelantikan dimulai. Gue & difta dateng jam 5-an. Junior masih pada masak buat makan malem nanti. Ada juga yang Ishoma. Pas gue lagi duduk sama difta didepan kelas, gue liat kakak itu dateng nyamperin adeknya, sumpah gue kaget. Guelangsung lari ke ruang panitia, antara ngga nyangka, malu, ngga jelas campur aduk pokoknya:((
Dihari itu mulai larut, kebetulan gue dan difta lagi istirahat diruang panitia. Disana ada beberapa alumni dan senior senior kelas 9nya. Tiba-tiba difta nanya "Kamu kenal dia dek".  "oh iya dia kakak aku. Dia yang dimaksud aku kira siapa, iya itu nama akhirannya" jawab adeknya. Ah damn! ya you know lah what I mean, ada kemungkinan adeknya udah kasih tau/cerita dong ke kakaknya? ah--_-- yaudah bodoamadddd.